Indonesia telah menetapkan sasaran, yaitu menciptakan industri perikanan berkelanjutan pada tahun 2025. Target ini sungguh menantang mengingat kurangnya pengawasan, lemahnya janji politis, dan makin bertambahnya armada yang tidak diregulasi.

Walaupun perairan Indonesia adalah rumah bagi 37% spesies laut di dunia, tetapi banyak yang terancam karena penangkapan ikan yang berlebihan. Statistik menunjukan bahwa kebanyakan stok ikan di Indonesia dan Asia Tenggara berada di bawah tekanan berat.

90 persen kapal Indonesia terus menarik tangkapan mereka dari daerah yang sudah ditangkap secara berlebihan dan dipadati oleh kapal-kapal tangkap lainnya. Penangkapan berlebihan tidak hanya terjadi pada peraian Indonesia, masalah ini dialami seluruh bangsa penangkap ikan di seluruh dunia.

Dengan lebih dari 7juta ton tangkapan per tahun, Indonesia adalah bangsa penangkap ikan kedua terbesar setelah China. Tetapi, kebanyakan dari produksi tercatat itu tertuju pada konsumsi domestik, karena jumlah konsumsi 280 juta populasi Indonesia, lebih banyak tiga kali dari rata-rata konsumsi global per kapita.

 Mengembangkan industri dengan prinsip keberlanjutan bukanlah hal yang mudah. Produk ikan tangkap semakin dicari-cari, tidak hanya tentang permintaan pasar dunia, tetapi juga tentang keberlangsungan hidup populasi ikan di Indonesia.

Subsidi BBM dari pemerintah, harga BBM yang lebih rendah seperti turunnya harga BBM dan potongan pajak berkontribusi pada stabilnya peningkatan pada tangkapan ikan. Dengan adanya hampir 20 juta orang diperkerjakan di industri perikanan Indonesia, nelayan berskala kecil, khususnya, akan menderita dalam kesulitan ekonomi apabila subsidi ini dihentikan esok.

Pemerintah dan para pemain utama di Indonesia harus mengusahakan untuk secara bertahap mengubah subsidi “berbahaya” ini menjadi subsidi yang menguntungkan, sambil memastikan berlangsungnya ekonomi vital industri ini di waktu yang sama.

Contohnya, North Atlantic Seafood LLC., telah bekerja dengan prosesor berskala besar dan badan pemerintahan untuk menjamin praktek perikanan berkelanjutan dilakukan demi melindungi industri vital di populasi yang luas dan berkembang ini.

Masalah utama dalam memerangi penangkapan berlebihan adalah kurangnya data yang berkualitas untuk mengawasi kepatuhan. Besarnya Kepulauan Indonesia, dengan 17,500 pulaunya dan lebih dari lima ratus ribu kapal pancing, membuat pengawasan menjadi sulit karena kebanyakan kapal tidak memiliki perangkat elektronik untuk memfasilitasi pelacakan kapal.

Bagaimana Kami Membuat Suatu Perubahan

Setelah Konferensi Sea web Seafood yang diadakan di Barcelona pada tahun 2012, NAI mengadakan pertmuan untuk mengajak berbagai pemangku kepentingan di Indonesia menginisiasi sebuah usaha yang terkordinasi untuk mewujudkan keberlanjutan di dalam perikanan. Konferensi tersebut dihadiri oleh beberapa NGO, badan pemerintahan, akademisi, dan pemain utama dalam industri perikanan.

Terobosan NAI telah dan akan terus berkontribusi memberikan data esensial dalam perjalanan menuju keberlanjutan, termasuk,

·      Pelacakan kapal berskala kecil untuk mengaktifkan peningkatan pelacakan.

·      Rantai suplai berkelanjutan yang transparan lewat program percontohan rantai suplai visual.

·      Rantai suplai berkelanjutan yang transparan lewat program percontohan rantai suplai visual.

·      Mengembangkan program dukungan masyarakat yang mendesak mereka untuk menyelamatkan nilai produk dalam rantai pasokan guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

·      Mengakhiri ketergantungan hutang antara nelayan berskala kecil dan pembeli melalui pinjaman mikro.

Saat ini NAI sedang melakukan percobaan yang mana, dalam jangka waktu satu tahun, melaksanakan proyek percontohan di sekitar Kepulauan Indonesia untuk memantau hasil tangkapan dari “perahu ke perut” sehingga konsumen dapat melihat dari mana ikan mereka berasal. Melaksanakan tipe proyek seperti ini bukanlah prestasi mudah, tetapi NAI bersama tim yang penuh dedikasi, telah bertekad untuk menjadi bagian dari solusi daripada berpangku tangan terhadap permasalahan panjang yang saat ini kita hadapi. 

Kami optimis, bahkan dengan sasaran perikanan berkelanjutan 2025 yang semakin mendekat dengan cepat, bahwa setiap progress yang dibuat akan membawa kita pada akhirnya mencapai sasaran tersebut.

Program Transparansi Visual atas Rantai Pasokan

NAI baru saja memulai sebuah program yang diberi nama “Transparansi Visual Rantai Pasokan”. Pada intinya hal ini berarti kami dapat memberikan akses kepada end-user kami (buyer ataupun konsumen) untuk melihat perjalanan visual produk seafood hingga sampai ke toko retail mereka.

Adalah tujuan kami untuk mendokumentasikan (secara visual) setiap langkah perjalanan dari hasil tangkapan ikan dibongkar di dermaga, proses penyortiran dan penilaian, sampai pemuatan dan pengiriman kepada prosesor kami yang terpercaya. Dokumentasi ini juga termasuk fase produk masuk ke pabrik hingga dikemas dan siap dikirimkan.

Ini adalah sebuah proyek ambisius, namun penting bagi kami di NAI untuk menjamin konsumen kami mengetahui dari mana asal ikan kami, dan bahwa ikan tersebut ditangkap dengan etika yang baik, dikirim dan diproses secara professional.

Kami berharap bahwa kami mengerti kebutuhan konsumen kami, dan yang lebih penting lagi, kekhawatiran mereka tentang dari mana dan bagaimana ikan hasil tangkapan itu diambil. Representasi visual detail perjalanan dari “perahu ke perut” ini akan semakin menjawab kekhawatiran yang sekiranya dimiliki oleh konsumen kami.

  Perubahan pasti terjadi; kita hanya perlu terus melakukannya.